BAB 7
KESUSASTRAAN
Sastra , perubahan social, dan
problem problem di sekitarnya.
Dengan menyalurkan Julia Kristeva
(1976), Umar Junus lebih jauh lagi meenjelaskan bahwa novel Eropa lebih
menggunakan tanda (signe) dari pada lambing (symbol). Tanda lebih nyata daripada
lambing. Dan novel Indonesia juga berkembang dari lambing ke tanda, karena kita
semakin berhadapan dengan suatu yang nyata yang berhubungan langsung dengan
penulisannya. Asumsi itu jelas memperkuat perkiraan bahwa sastra semakin dengan
persoalan hidup manusia kebanyakan, dan karenanya kemungkinan untuk memberi
pengaruh semakin besar.
Untuk menjawab pertanyaan a[pakah
sastra mempengaruhi perubahan social, jelas di perlukan pertanyaan lebih
lanjut: apa yang di maksud denan perubahan social, apa yang dimaksud dengan
pengaruh?
Jika yang dimaksud dengan perubahan social
adalah seperti konsep yang di ajukan kalangan sosiologi, sastra tidaklah untuk
secara langsung melakukan pembangunan. Dalam konteks ini benarlah apa yang
diyakini oleh ignas kledan, bahwa perubahan social hanya bisa terjadi kalua kita
memilih dan berani untuk mengubah realitas social dan bukannya dengan mengotak
atik realitas simbolik.
Namun, apaka yang dimaksuddengan
perubahaan yang menyangkut perangkat social belaka? Apakah “pembangunan”
sebagai kata lain bagi perubahan social melulu masalah fisik? Kalua yang
dimaksud dengan perubahan social adalah seperti itu, yang lebih berperan tentu bidang
politik dan eknomi. Tetapi jika kita mengingat bahwa perubahansosial juga
menyangkut masalah perubahan nilai, sastra adalah salah satu variable daripadanya.
Memang tugas sastra tidaklah sampai
pada perbaikan perilaku. perilaku ditentukan oleh ekstensi manusianya. Sastra hanyalah
memperkuat kecenderungan yang ada, atau sebaliknya manjadi stimulus bagi
kemungkinan tindakan anti-kecenderungan. Jadi, pengaruh sastra terhadap diri
manusia lebih bersifat psikis ketimbang mengkanis.
Karya sastra adalah hasil renungan
yang mendalam, yang tidak hanya menyampaikan informasi tentang fakta-fakta atau
data, melainkan didalamnya tersembunyi varian varian. Sastra dengan keindahan
tertntu dapat melembutkan kehidupan yang semakin keras. Ibarat seorang ibu yang
menidurkan anaknya. Minimal, kita terus menerus diingatkan bahwa hidup ini
bukan sekedar ritual mekanis, melainkan juga ada perselisihan roh, permasalahan
jiwa.
Namun jika kehidupan kita sekarang
sedang mengalami masalah perkembangan teknologi, sastra juga mengalami hal yang
sama. Seorang sastrawan, sebelum menulis karyanya, tentu saja akan bertanya:
bagaimana cara mengatasi perubahan zaman atau mencegah jatuhnya korban
berikutnya.
Dalam hal ini tokoh humanis kita,
DR. Soedjatmoko, menulis demikian: … Agama-agama asia memiliki suatu pandangan
yang di dalamnya dunia ilmiah lebih merupakan suatu yang berhubungan dengan
manusia sebagai bagian darialam dan bukan sebagai makhluk yang memiliki
keistimewaan yang berdiri sendiri diliar alam. Disinilah paling kurang terdapat
asal kewajiban terhadap ciptaan, yang dapat melakukan sesuatu untuk meluluhkan
wajah teknologi modern yang lebih menghancurkan dan ganas terhadap alam.
Lebih lanjut, Mochtar Lubis
mengingatkan bahwa sastra dan sebuah nilai tertentu yang ditawarkan
memungkinkan kualitas manusia dalam pembangunan manjadi lebih baik kualitas manusia
dalam pembangunan menjadi lebih baik lagi. Dan Prof. Fuad Hassan kembali
mengingatkan bahwa zaman renaisans di awali oleh kegiatan karang-mengarang.
BAB 8
PUISI
Yang penting bukan bagus atau buruk
Setiap kali berjumpa seorang
penyair, yang paling seru di bahas adalah membahas puisi karya penyair lainnya
atu bahkan puisi-puisi karya A bagus katanya dan aspek lainnya, sedangkan puisi
karya B jelek, jelek sekali, bahkan buruk, dan lainnya.
Kalua kepada penyair yang memberi
penilaian itu di ajukan pertanyaan: “dari pandangan apa yang membuat anda
sampai mengatakan bahwa puisi tersebut buruk?” jawaban yang akan di berikan
akan variatif contohnya “puisinya masih sangat polos, masih sangan eksplesit,
belum kompeten…dan seterusnya” masih banyak yang akan di katakana lagi. Namun ketika
diberikan contoh bahwa sebagian besar sajak Rendra sangat eksplisit ia lalu tidak
akan membicarakannya.
Memang tidak tepat untuk menilai
puisi secara langsung bagus-buruk, sebab cara itu lebih terlihat menilai secara
pribadi dan memperlihatkan fanatic terhadap salah satu puisi yang di tulis. Padahal,
setiap puisi memiliki tempat dan nilainya sendiri. Dari sudut pandang tertentu,
sebuah puisi mungkin tidak memenuhi syarat yang di berikan, tetapin tidak
mustahil bahwa puisi itu memperlihatkan banyak keunikkan ketika di cari dari
sudut pandang yang lebih luas.
Penilaian secara langsung
bagus-buruh sesungguhnya merupakan suatu kesalahan metodologi yang digunakan. Kalau
anda mengukur panjang suatu benda anda harus mengunakkan ukuran meter,
sentimeter, dan lainnya. Demikian halnya dengan puisi yang harus dinilai melalui
ukuran yang di berikan, sehingga membuat penilaian puisi akan menjadi lebih
real atau relavan.
Maka, penilaian berdasarkan
bagus-buruk dalam puisi sebaiknnya tidak di lakukan, sebab akan memboroskan energy
dan menimbulkan polemic yang berkepanjangan. Dalam hal ini juga tidak mustahil
akan menyebabkan sakit hati kepada sang penulis tersebut yang tidak
menguntungkan.
Setiap puisi mempunyai tempat
tersendiri. Yang artinya setiap puisi sesungguhnya di buat dengan tujuan yang
telah di tentukan. Dengan demikian, setiap puisi juga memiliki fungsi yang
memiliki khasnya. Bukan hanya puisi-puisi yang rumit, tidak jelas, tersirat,
dan sejenisnya yang di anggap paling penting. Puisi puisi yang hanya memberikan
satu aspek sajadari sekian aspek pun memiliki fungsi tersendiri. Misalnya,
sebuah puisi yang hanya memberikan satu aspek saja yaitu aspek keindahan
bahasanya, yang mengandalkan ritme. Itu pun memiliki arti penting . jangan
langsung di lecehkan begitu saja. Puisi yang memberikan aspek keindahan harus
di baca dengan cara menikmati unsur yang diberikan sang penyair. Apresiasi kita
terhadap puisi semacam itu bukan dangan menggunakan kerangka pemikiran. Yang kita
cari dalam puisi semacam itu bukanlah nilai nilai filsafat nya, bukan juga
mencari hubungan dengan sistem kultur kebudayaan tertentu. Puisi juga berhak
mendapatkan kenikmatan dari hasil aspek keindahan tersebut.
Memang sudah sejak lamabanyak kritik
puisi menghimbau agar puisi lebih berbicara mengenai filsafat atau psikologi
agar puisi lebih berbicara dengan akal atau pemikiran daripada suatu ide
belaka. Mereka yang berfikir demikian akan mengasumsikan bahwa puisi , sebagai
karya sastra, harus berjalan sesuai dengan perkembangan jaman. Karena perkembangan
jaman akan berjalan terhadap pendewasaan ilmu dan rasio.
Namun, semua itu wajib di
kembalikkan kepada proses kreatif sang penyair. Proses pembuatan sajak
merupakan pekerjaan yang sangat individu atau pribadi. Tidak seorang pun yang
tau proses terbuat sajaknya. Bahkan sang penyair lebih sering menguraikan
sajaknya sendiri.